Buah tak jatuh jauh dari pohonnya. Agaknya peribahasa ini banyak dikaitkan dengan karakter anak yang seringkali mirip dengan orangtuanya. Menurut psikolog perkembangan dari Yayasan Kita dan Buah Hati, Rahmi Dahnan MSi, karakter anak yang dibawa sejak lahir merupakan turunan genetik dari keluarganya. “Karakter anak biasanya hasil menjiplak dari kedua orangtuanya,” katanya. Misalnya, ayah atau ibu termasuk pendiam maka ada kecenderungan anak mewarisi karakter yang sama. Namun, sambung Rahmi, terdapat pula penggolongan berdasarkan karakter bayi yaitu anak yang digolongkan anak mudah (easy child), slow to warm child, dan anak sulit (difficult child).
Ketiga karakter tersebut merupakan karakter dasar (basic character) bayi yang bisa terlihat dari pola tidur, makan, dan kemampuan adaptasi dengan lingkungan baru. Misalnya, pada tipe difficult child sering bermasalah pada pola tidurnya, sering teriak saat menangis, dan menolak bertemu orang lain. Berbeda dengan tipe easy child, anak lebih tenang dan memiliki pola makan serta tidur yang mudah diatur dan mudah beradaptasi dengan siapa pun. Sedangkan, tipe slow to warm, awalnya sulit terdeteksi dini karena merupakan pertengahan dari kedua tipe di atas. Namun tipe ini bisa diamati, misalnya anak mudah tersentak ketika tidur kalau pun menangis tidak meraung-raung.
Apapun karakter anak, papar Rahmi, sebaiknya diterima kemudian dipahami sehingga bisa memberikan pola asuh sesuai kebutuhan anak. ??Saat menghadapi anak sulit (difficult child) yang menangis, sebaiknya orangtua lebih sabar dan tidak menimpalinya dengan omelan, atau bentakan (verbal abuse) yang justru membuat anak merasa tidak nyaman,?? katanya. Pelukan dan belaian lembut akan menciptakan rasa nyaman dan menurunkan kerewelan si anak sulit.
Menurut psikolog dari Lembaga Terapan UI (LPTUI), Muhammad Rizal MSi, Ketika anak memasuki usia prasekolah, orangtua bisa mengamati perkembangan karakter anak. Secara umum tipe karakter digolongkan dalam empat kategori tergantung bagaimana anak menempatkan dirinya. Jika anak lebih suka berinteraksi dengan orang lain, maka anak bisa digolongkan extrovert. Sebaliknya, tipe anak introvert justru lebih sering menikmati waktu sendirinya dengan merenung dan memikirkan kejadian atau pengalaman yang dialaminya.
Selain itu, kepribadian anak juga bisa terlihat dari gayanya mengumpulkan informasi, misalnya tipe mengeksplorasi data serta fakta (sensing) atau tipe mengandalkan intuisi (intuition) yang sering menggunakan kalimat ?rasa-rasanya? atau ?sepertinya?. ?Karakter ini bisa dilihat sedini mungkin, terutama mengenali tipe anak extrovert atau introvert, jika anak tidak terlalu menikmati situasi bersama banyak orang bisa dikatakan anak cenderung introvert,? kata Rizal.
Dapatkah karakter anak diubah?
Rizal menjawab, tidak bisa. Namun pengaruh lingkungan seperti sekolah dan keluarga berpotensi menguatkan atau melemahkan karakter tersebut. ??Trauma yang berat bisa membuat seolah-olah karakter anak berubah. Dengan terapi dan pendampingan yang tepat, karakter asli tetap akan lebih dominan dibanding karakter hasil adaptasi dengan trauma,?? paparnya. Misalnya, anak yang mengalami pelecehan seksual, mungkin tiba-tiba menjadi pendiam, tertutup, dan sangat melindungi dirinya.
Senada dengan pendapat di atas, Rahmi menambahkan, terkadang dampak dari peristiwa tertentu seperti kehilangan seseorang yang dicintai bisa mengubah tingkah laku anak. ??Namun, responnya tidak akan jauh dari karakter dasar anak,?? katanya. Misalnya karakter anak tergolong introvert meski tidak terlihat pada tingkah polahnya, namun ketika mengalami trauma, karakter ini mungkin akan muncul misalnya dengan mengurung diri di kamar atau merenung. Meski demikian, orangtua bisa mengajarkan trik-trik menghadapi stres atau sesuatu yang kurang mengenakkan dengan cara yang lebih baik.
Rizal mengatakan, dengan mengenali karakter anak, orangtua dapat memahami dan menemukan cara-cara tepat untuk mengasuh anak. Misalnya jika anak tergolong introvert, jangan terlalu memaksa anak akan bercerita tentang perasaan atau kebutuhannya. Namun, mungkin saja orangtua perlu usaha lebih untuk mendekatkan diri dan mengajak anak bicara. Sementara pada anak yang lebih terbuka dan selalu bercerita tanpa diminta, maka orangtua bisa mengarahkan anak untuk melihat kondisi dan waktu yang tepat bercerita.
Tidak ada karakter anak yang negatif, tegas Rizal. Misalnya, anak pendiam dinilai lebih baik dibandingkan dengan anak yang lebih sering bertanya. ??Jika penilaian semacam ini mewarnai lingkungannya, maka kepribadian anak tidak bisa tumbuh optimal. Bisa jadi anak tidak percaya diri dan mandiri setiap bertanya. Namun, ketika anak keluar dari lingkungan tersebut, karakter aslinya akan muncul kembali,?? paparnya.
Rizal menambahkan, orangtua bisa mengenali kepribadian anak berdasarkan pengamatan perilaku anak sehari-hari seperti cara anak berkomunikasi, gaya hidup, atau ketika anak tengah menganalisa suatu persoalan dan membuat keputusan sendiri. Menurut Carl Gustav Jung dalam bukunya Personality Plus karakter anak bisa dibedakan berdasarkan caranya membuat keputusan, ada anak yang mempertimbangkan perasaan orang lain (feeling) atau hanya menggunakan data-data dan hal-hal yang memang ia lihat dan miliki (thinking). Kemudian bisa juga melihat gaya hidup dari anak, misal penuh spontanitas dan tidak terduga, kurang peduli pada aturan-aturan kaku (perceiving),penuh perencanaan, atau taat pada aturan (Judgement).
Rahmi mendefinisikan kepribadian (personality) sebagai kesiapan bertingkah laku ini merupakan reaksi atau respon terhadap simulasi dari lingkungan luar berdasarkan karakter yang dimiliki anak. ??Oleh sebab itu, meski karakter anak bisa saja sama, namun kepribadian yang muncul akan berbeda-beda,?? katanya. Orangtualah yang bertugas mengarahkan kepribadian anak. Pembentukan kepribadian anak juga melibatkan pembiasaan-pembiasaan yang diterapkan orangtua. ?Jika ingin menciptakan anak berkepribadian baik maka ciptakan lingkungan yang baik pula, sekali lagi orangtua sebagai acuannya,?paparnya. Untuk itu, Rahmi menambahkan, orangtua harus dibekali pengetahuan mengenai perkembangan anak dengan melihat harapan sosial pada usia tertentu. Pada usia 3 tahun, anak sebaiknya mulai mandiri pada hal-hal yang berkaitan dengan kepentingannya seperti makan, minum, dan berpakaian sendiri. Kepercayaan diri mulai dikembangkan optimal ketika anak berusia 5 tahun. Sedangkan di usia 7 tahun anak mulai produktif dalam arti anak sudah mulai menunjukkan minatnya dan tidak tergantung pada keputusan orangtua. ?Perlu disadari juga laju perkembangan tiap anak berbeda-beda, yang merupakan hasil dari kematangan anak dan latihan atau pembelajarannya selama masih dalam rentang perkembangannya,? ujarnya.
Masa prasekolah adalah saat orangtua membentuk pondasi kepribadian anak. Dengan menanamkan pembiasaan yang positif seperti membiasakan bilang ?tolong?, ?terimakasih? dan ?maaf?, izin jika ingin bermain keluar, atau bersikap sopan. Sedangkan di usia sekolah, anak mulai berani mencoba hal-hal di luar kebiasaan. Tujuannya hanya sekedar untuk melihat respon orangtuanya. ??Oleh sebab itu sebaiknya orangtua bersikap konsisten dalam mengasuh,?? kata Rahmi. Selain itu, anak juga dipengaruhi oleh lingkungan sekolah atau teman sepermainannya (peer group). Orangtua juga bisa melihat bagaimana respon anak ketika menghadapi suatu permasalahan untuk melihat kepribadiannya yang unik. ?Perlu diingat, sikap dan tingkah laku anak merupakan cerminan dari kepribadiannya,? sambungnya.
Rahmi mengatakan, diharapkan dengan pembiasaan-pembiasaan positif yang ditanamkan orangtua pada anak dapat membentuk kecerdasan emosinya. Seringkali anak terlihat menjadi pemberontak ketika menghadapi suatu masalah. Hal ini disebabkan anak tidak menemukan jalan keluar dari permasalahannya, maka anak berpotensi mengekspresikan emosinya dengan cara yang negatif.
Jika sudah demikian, orangtua harus peka dengan tidak menuduh atau memberikan komentar negatif. ??Umumnya sikap negatif anak disebabkan oleh faktor eksternal seperti mencari perhatian, atau berada dalam kondisi tertekan,?? jelasnya.
Dengan bertambahnya usia, lanjut Rahmi, pemahaman anak juga perlu ditambah, misalnya ada anak yang sangat sensitif (oversensitive) yang peka dan mudah sekali menangis. Berikan pelajaran bersikap bijaksana dalam menanggapi suatu permasalahan. Seperti tidak semua permasalahan harus ditangisi. Ada kalanya, anak juga melakukan kealpaan dengan memberikan respon negatif tanpa disadarinya, misalnya dengan berkata kasar saat marah. ??Jangan langsung memarahi anak, beritahu bahwa sikapnya tidak baik
dan berikan contoh sikap yang terpuji,?? katanya.
Hati-hati! Jika pola komunikasi dan pengasuhan anak ditekankan pada metode kepatuhan (otoriter) maka yang tampak adalah kepribadian semu. Anak terlihat manis dan patuh di rumah, namun ketika di sekolah tidak demikian. ?Orangtua sebaiknya ?asli? dalam menampilkan kasih sayang dan mengubah metode pengasuhan tersebut,?ujar Rahmi.
Psikiater anak dari Klinik Mutiara Hatiku, Ika Widyawati mengatakan karakter merupakan warna dasar setiap anak. Secara teori, pembentukan kepribadian anak dimulai dari 0-8 tahun , artinya di masa usia tersebut kepribadian anak belum stabil atau masih berubah-ubah tergantung pengalaman hidupnya.
Berikut hal-hal yang harus diperhatikan orangtua dalam pembentukan karakter anak.
Do?s:
Memperlakukan anak sesuai dengan karakteristik anak.
Pahami bahwa setiap anak itu unik.
lMemenuhi kebutuhan dasar anak antara lain kebutuhan kasih sayang, pemberian makanan bernutrisi. Juga rasa aman dan nyaman.
Memperhatikan pola pendidikan yang diajarkan oleh guru di sekolah anak. Sebaiknya pola pengajaran guru juga senada dengan orangtua.
Berikan dukungan dan penghargaan ketika anak menampilkan tingkah laku yang terpuji.
Berikan fasilitas lingkungan yang sesuai dengan usia perkembangannya.
Jika lingkungan sosial kurang baik, sebaiknya orangtua memindahkan anak dari lingkungan tersebut.
Orangtua bersikap tegas dan konsisten.
Dont’s
Orangtua memaksakan ambisi-ambisi pada anak apalagi jika bertentangan dengan karakter dasar anak.
Jangan mengasari anak, karena berpotensi menimbulkan ketaatan sesaat dan berpotensi menimbulkan kepribadian pemberontak.
Jangan membanding-bandingkan anak.
Jangan terlalu sering berganti-ganti pola asuh karena cenderung mempengaruhi kepribadian anak.
Jangan bumbui pola pengasuhan dengan verbal abuse atau physic abuse. Biasanya jika ini diterapkan akan timbul sikap curiga berlebihan (skeptis), menarik diri, dan enggan menjalin komunikasi dengan orangtua.
http://hanifa93.wordpress.com/2008/03/07/90/